Larangan
Khitan Perempuan
Bertentangan
dengan Syariat Islam1
Khitan Perempuan menurut Islam
Bagaimana
sesungguhnya kedudukan khitan perempuan dalam Islam?
Merupakan
sesuatu yang telah dimaklumi, bahwa berkhitan bagi wanita dapat menstabilkan
syahwatnya. Sebab jika tidak dikhitan, maka ia akan merasakan desakan kuat dari
syahwatnya. "Karena itu, sering dikatakan dalam rangka saling mengejek:
Wahai Ibn Qulfa –hai anak yang tidak dikhitan. Sebab al-Qulfa adalah yang tidak
dikhitan. Wanita demikian itu akan selalu memperhatikan laki-laki. Sebab jika
ia tidak dikhitan, maka hal itu akan menyalakan instink fisikal (badaniah)
padanya," tulis Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indoneisa (MUI)
Prof Dr Hj Huzaimah T Yanggo, dalam bukunya "Fiqih Anak". Jeleknya, kata
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu, dengan sebab seperti itu, yakni tidak
dikhitan, wanita akan banyak terdorong untuk melakukan apa yang tidak pantas
untuk dilakukan. Oleh karena itu, perbuatan keji dan cabul terjadi jauh lebih
banyak di kalangan wanita non-Muslim, sesuatu yang tidak terjadi di kalangan
umat Islam. Padahal di samping itu pun, jelas sekali, bahwa tanpa khitan, maka
cairan yang ada pada tempat tersebut akan menimbulkan aroma yang tidak sedap.
Menurut
Huzaimah, wanita yang tidak dikhitan itu juga tidak merasakan ketenangan jiwa.
Mereka selalu merasa bimbang dan goncang. Tabiatnya tidak baik, merasakan
kekacauan dan kelinglungan dalam berfikir. Mereka juga mempunyai fanatisme
dalam berkelakar. Muka mereka dihinggapi bentuk dan warna yang aneh dan debu
gelap yang aneh pula. Kondisi mereka seperti itu dapat terlihat sejak pertama
kali melihatnya. Itulah bahaya-bahaya yang tidak dapat dianggap remeh.
Tak Boleh Berlebihan
Sebaliknya,
kata Huzaimah, jika ada wanita yang dikhitan secara berlebihan, atau bagian
yang perlu dikhitan itu dipotong dari wanita, maka daya syahwatnya akan
melemah, bahkan sangat mungkin akan menghilang. Akibatnya, suaminya tidak akan
menemukan kelezatan dalam berjimak, dan wanita/istrinya pun tidak dapat
menikmati kelezatan badaniahnya. Bahkan ia akan merasa benci dan tidak kuat
melakukannya, maka lahirlah disharmoni di antara suami dan istri. Timbullah
keretakan di dalam kehidupan mereka. Kebahagiaan hidup berkeluarga pun sirna.
Tidak jarang hal seperti itu melahirkan perceraian yang mengakhiri
perikehidupan bersuami-istri. Atau, kadang-kadang kondisi semrawut itu
mendorong suami untuk menyeleweng, khususnya juka ia tidak mempunyai ketahanan
mental agama yang kuat.
Meskipun
demikian, sebaik-baik sesuatu adalah yang pertengahan. Hal itu dapat dilalui
dengan berkhitan secara wajar dan sederhana, atau tidak berlebihan. Sebab dapat
dipastikan, jika pelaksanaan khitan tidak berlebihan, maka tujuan akan tercapai
secara adil dan menguntungkan suami-istri.
Huzaimah
mengutip sebuah hadits dalam al-Mustadrak, hadits dari adh-Dhahhak bin Qais,
bahwa ada seorang wanita di Madinah yang bernama Ummu ‘Athiyyah (tukang khitan
wanita), Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Bersederhanalah dan jangan
berlebihan. Sebab itu lebih menceriakan wajah dan lebih menguntungkan suami.”
"Jadi, sebetulnya khitan dapat membuahkan kecantikan dan keindahan bentuk.
Juga dapat memberikan keceriaan dan keindahan pada wajah. Dengan demikian,
wanita akan merasa tenang dan jiwanya pun tidak goncang," simpulnya.
Di samping
itu, kita tidak perlu kaget jika ternyata khitan merupakan salah satu dari tiga
perbuatan/amal yang disukai oleh Imam Malik bagi (kepentingan) laki-laki dan
perempuan. Diriwayatkan secara kuat dari Imam Malik bahwa ia mengatakan, “Aku
suka bagi wanita itu untuk memotong kuku, mencukur rambut al-‘anat
–yangterletak di bawah perut-- dan berkhitan, sebagaimana yang dilakukan
oleh laki-laki. Demikianlah sepantasnya mengenai khitan wanita. Melarang mutlak
tidak diperbolehkan, terlalu berlebihan dalam memotong juga dilarang. Sebab,
khitan yang tidak berlebihan itu lebih menguntungkan –dan mempercantik—wanita,
lebih bermanfaat, dan lebih lezat. Juga tentu lebih disukai suaminya. Oleh
karena itu, wanita yang bertugas mengkhitan wanita diperintahkan untuk tidak
berlebihan dalam mengkhitan wanita. Sebab, hal itu merupakan sebab bagi tumbuh
suburnya rasa cinta kasih di antara suami dan istri.
Juga
sepentasnya tidak kita lewatkan, bahwa wanita-wanita di zaman Rasulullah saw
pun dikhitan. Imam Ahmad mengatakan, “Hadis Nabi Muhammad saw , ‘Apabila
(saling) bertemu kedua yang dikhitan, maka wajiblah mandi.’ Hal ini menunjukkan
bahwa wanita zaman Rasulullah saw itu dikhitan. Berdasarkan alasan yang telah
disebutkan di atas, maka khitan harus dilakukan terhadap anak laki-laki dan
perempuan.”
Oleh Ida Rosiana, Anggota Bidang Organisasi PK IMM FKIP UHAMKA JAKTIM 2012-2013 |
Sumber:
Fiqih Anak, karya Prof Dr Hj Huzaimah Y Tanggo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar